BALI -- Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satuan Reserse Kriminal Polres Buleleng berencana menyelidiki kasus dugaan perdagangan manusia yang dialami seorang gadis berinisial KS (17) asal Kecamatan Sukasada, Buleleng.
Dalam kasus itu mereka bekerjasama dengan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Buleleng dan sejumlah aktivis lain.
Kepala Unit PPA, Iptu Nengah Wiraningsih mengatakan, sampai kini polisi baru mengetahui kasus itu dari pemberitaan di media massa saja.
Kini pihaknya menyelidiki terlebih dahulu untuk mengetahui kebenaran informasi tersebut.
“Sampai saat ini laporan secara tertulis tidak ada, saya tahunya dari media, dari Tribun itu saya tahu baca itu. Nanti kita buat Laporan Informasi (LI) dulu yang kita terima, nanti kita lidik dulu, kita belum tahu gak ada masyarakat lapor kesini,” katanya, Senin (30/1/2017).
Menurut dia, jika pengakuan KS benar adanya maka kasus itu sudah masuk ranah pidana.
Namun pihaknya tidak akan gegabah dan masih akan melakukan penyelidikan terlebih dahulu.
Terutama untuk mencari barang bukti.
“Kita lidik dulu, kalau kita kan penegakan hukum harus ada bukti biar gak salah. Sekarang lidik saja dulu, kita juga belum tahu kebenarannya,” ucapnya.
Ia berharap pihak korban berkenan melaporkan kasus yang menimpanya ke polisi untuk memudahkan penanganan kasusnya.
Menurutnya, kekhawatiran ayah KS, MR enggan lapor polisi karena akan diminta biaya perkara tidaklah benar.
Proses pelaporan kasus ke polisi selama ini tidak akan dikenakan biaya apapun.
Hal yang sama juga diungkapkan Ketua P2TP2A, Riko Wibawa.
Ia menjamin korban ketika melaporkan kasusnya ke polisi tidak akan dikenakan biaya.
Bahkan pihaknya juga akan menjamin kerahasiaan dan keselamatan korban.
“Kita sudah pastikan kalau nanti dilaporkan kerahasiaan, jaminan keselamatan itu sudah ada, jangan terlalu mendengarkan omongan di luar, masak korban harus keluar uang, kami yang akan coba memberikan pendampingan,” kata Riko.
Sebelumnya, KS mengungkapkan telah menjadi korban perdagangan manusia untuk dipekerjakan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK).
KS mengaku diajak seorang wanita yang telah dikenalnya berinisial PM asal Kecamatan Buleleng untuk bekerja sebagai pelayan di sebuah rumah makan di Desa Bestala, Kecamatan Seririt.
Ayah KS, MR pun mengizinkan.
Namun setelah berangkat dari rumah, KS tidak diajak bekerja ke rumah makan seperti yang dijanjikan, tetapi diajak ke rumah PM di satu desa kawasan Lovina.
Dari situ, dia diminta melayani seks para lelaki di hotel kawasan Lovina.
Selama itu pula dia tidak mendapatkan uang sepeser pun.
Bahkan ia juga mengaku dipaksa mengisap sabu-sabu.
MR enggan melaporkan kasus yang menimpa anaknya ke polisi karena takut keselamatan keluarganya terancam dan akan dipungut biaya.
Sebelumnya diberitakan seorang remaja perempuan berinisial KS (17) asal Kecamatan Sukasada, Buleleng dipekerjakan sebagai Pekerjaa Seks Komersial (PSK).
Selama dipekerjakan sebagai PSK, perempuan ini juga sama sekali tidak mendapatkan uang.
KS saat ditemui di rumahnya mengatakan, dua pekan lalu dirinya diajak oleh seorang wanita berinisial PM (35) asal Kecamatan Buleleng untuk bekerja sebagai pelayan di rumah makan di Desa Bestala, Kecamatan Banjar.
Ia yang tidak sekolah dan butuh pekerjaan untuk membantu orangtuanya menyanggupi tawaran itu.
Rencana KS itu juga didukung oleh ayahnya, MR (50) seorang buruh tani yang juga sudah mengenal PM.
Sebelum berangkat, MR berpesan kepada PM agar menjaga dengan baik anak bungsunya itu.
KS lalu diajak berangkat oleh PM meninggalkan rumahnya menggunakan sepeda motor.
Namun rupanya KS tidak diajak ke rumah makan tetapi diajak ke rumah PM yang berada di satu desa kawasan Lovina.
Sesampainya di rumah PM, KS yang saat berangkat dari rumahnya mengenakan celana panjang diminta oleh PM untuk mengganti dengan rok pendek yang sudah disediakan untuknya.
Sementara di rumah itu juga sudah ada seorang lelaki yang sudah menunggu KS.
Oleh PM, KS yang sempat menolak diminta menurut saja ketika diperintahkan untuk menemani lelaki itu di hotel kawasan Lovina.
KS sebelum berangkat bersama lelaki itu sempat melihat kalau lelaki itu memberikan uang sebesar Rp 500 ribu kepada PM.
“Saya datang ke rumahnya pakai celana panjang, sampai di sana saya suruh ganti pakai rok pendek, saya sempat menolak," ujarnya.
"Di sana juga ada om-om saya ditarik lalu mbok itu bilang nurut saja biar dapat duit dari om itu, lalu saya diajak ke hotel diminta melayani dia, saya gak sanggup menolaknya,” katanya, Minggu (29/1/2017).
KS kemudian dikembalikan oleh lelaki itu ke rumah PM.
Namun, KS tidak menerima sepeser uang pun dari PM dan pada akhirnya dia mengetahui kalau uang Rp 500 ribu sudah habis untuk dibelikan narkotika jenis sabu-sabu.
Kejadian ini terus saja terulang saat KS tinggal di rumah PM.
Seringkali ia diminta melayani lelaki yang butuh kepuasan seks.
Bahkan ia menyebut dalam sepekan saja dirinya bisa sampai melayani lelaki sampai lima kali di beberapa tempat yang berbeda.
Ia juga dipaksa menghisap sabu-sabu.
“Saya sempat lihat mbok itu kasih uang ke lelaki gak kenal saya dan bilang ini uangnya Rp 15 juta, kemungkinan itu uang ya dari hasil kerja saya,” katanya.
Menurut dia, bukan dia saja yang dipekerjakan sebagai PSK oleh PM.
Saat melayani lelaki dirinya sempat bertemu dengan perempuan lain yang bernasib serupa dengan dirinya.
Tetapi antara KS dengan teman perempuannya itu tidak tinggal dalam satu tempat.
Karena sudah merasa sangat tidak tahan dengan perlakuan PM, KS memohon untuk dipulangkan ke rumahnya.
Setelah memohon-mohon, PM bersedia memulangkan KS ke rumahnya menggunakan sepeda motor.
Sang ayah, MR mengatakan, sesampainya di rumah, KS tidak memiliki nafsu makannya selama sampai empat hari karena efek sabu-sabu yang dikonsumsinya.
Mengetahui kondisi anaknya yang demikian, MR merasa sangat prihatin.
“Saya terus bingung saja di rumah memikirkan terus anak saya ini,” kata MR.
Meski begitu MR enggan melapor kasus yang dialami anaknya itu ke polisi karena tidak mau berproses panjang dan takut akan justru mencelakakan keluarganya sendiri.
Ia pun memilih pasrah dengan kasus itu dan mengambil pengalaman agar selanjutnya tidak mudah percaya kepada orang lain.
“Nanti saya melapor kena biaya sama polisinya, apalagi kalau nanti mencabut berkas laporan katanya kena biaya lagi. Saya sedikit malasa berususan sama polisi, apakagi saya tidak bisa bawa sepeda motor,” pungkas MR. (*)